Harga Minyak Brent di Bawah US$70, Apa Pemicunya?

Taufiq Setiawan

Harga Minyak Brent di Bawah US$70, Apa Pemicunya
Harga Minyak Brent di Bawah US$70, Apa Pemicunya

RINGKASAN

  • Harga Minyak Brent Tergelincir di Bawah US$70: Pada 29 September 2025, harga minyak Brent anjlok ke US 69,80 per barel ( WTI di US 65,31), setelah sebelumnya sempat naik tajam, dipicu oleh spekulasi peningkatan pasokan global.
  • OPEC+ Berencana Tambah Produksi: Aliansi OPEC+ dikabarkan akan menambah produksi 137.000 barel/hari mulai November, sebagai strategi perebutan pangsa pasar dari pesaing seperti AS, meskipun berpotensi menekan harga.
  • Ancaman Rekor Surplus Pasokan: IEA memprediksi rekor surplus pasokan pada 2026 akibat kenaikan produksi OPEC+ dan negara non-OPEC (AS), diperkuat oleh proyeksi Goldman Sachs yang memangkas target harga Brent ke US$50-an.
  • Permintaan Kuat dari China Menahan Penurunan: Meskipun ada ancaman kelebihan pasokan, pembelian agresif dari China untuk menimbun stok berhasil menahan laju penurunan harga minyak agar tidak terlalu drastis.
  • Implikasi Bagi Pebisnis dan Ekonomi Global: Volatilitas harga minyak ini krusial bagi pebisnis dan pengusaha, memengaruhi biaya operasional dan strategi investasi di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipengaruhi oleh dinamika penawaran dan permintaan.

ℹ️ Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI

Harga Minyak Brent di Bawah US$70, Apa Pemicunya? Pada awal pekan terakhir September 2025, pasar minyak global kembali diwarnai gejolak. Harga minyak Brent, yang menjadi patokan internasional, tergelincir kembali di bawah level psikologis US$70 per barel.

Fenomena ini memicu berbagai spekulasi dan kekhawatiran di kalangan pebisnis, pengusaha, serta para pemangku kepentingan ekonomi global.

Setelah sempat menunjukkan kenaikan tajam pada pekan sebelumnya, penurunan ini menjadi sinyal penting terkait dinamika penawaran dan permintaan di pasar energi dunia.

Pergerakan Harga Minyak Global

Pergerakan Harga Minyak Global
Pergerakan Harga Minyak Global

Pada penutupan perdagangan Jumat, 26 September 2025, harga minyak Brent masih berada di kisaran US 70,13 per barel. Namun, memasuki Senin, 29 September 2025, data Refinitiv menunjukkan penurunan yang signifikan. Pada pukul 10.15 WIB, harga minyak Brent kontrak Desember 2025 diperdagangkan di posisi US 69,80 per barel.

Sementara itu, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami koreksi, berada di level US 65,31 per barel, lebih rendah dari posisi Jumat di US65,72. Penurunan ini seolah memutus tren kenaikan tajam sebesar 5,2% yang dicatat Brent pada pekan lalu, mengembalikan fokus pasar pada fundamental penawaran yang kembali membayangi.

Pergerakan harga ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada beberapa faktor fundamental dan sentimen pasar yang mendorong koreksi ini, terutama ekspektasi peningkatan pasokan dari produsen-produsen utama dunia.

OPEC+ dan Strategi Perebutan Pangsa Pasar

Salah satu pemicu utama penurunan harga adalah meningkatnya ekspektasi pasar bahwa aliansi produsen minyak OPEC+, yang dipimpin oleh Arab Saudi, akan kembali mengerek produksi. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa OPEC+ tengah mempertimbangkan untuk menambah produksi setidaknya sebesar 137.000 barel per hari mulai November mendatang.

Langkah ini, jika terealisasi, akan menandai pergeseran strategi signifikan bagi OPEC+. Alih-alih fokus pada stabilisasi harga melalui pembatasan produksi peran tradisional mereka keputusan ini lebih cenderung diinterpretasikan sebagai upaya untuk merebut kembali pangsa pasar.

Dalam beberapa waktu terakhir, produsen non-OPEC, terutama Amerika Serikat, telah meningkatkan produksi mereka secara agresif, menekan dominasi OPEC+ di pasar global. Dengan menambah pasokan, OPEC+ berharap dapat menjaga relevansinya dan menekan produksi dari pesaing, meskipun berisiko menurunkan harga.

Surplus Pasokan dan Peringatan IEA

Ancaman kelebihan pasokan di pasar global bukanlah isapan jempol belaka. Badan Energi Internasional (IEA) telah mengeluarkan peringatan tegas mengenai potensi surplus pasokan yang bisa mencapai rekor pada tahun 2026. Peringatan ini didasarkan pada kombinasi faktor, termasuk potensi kenaikan suplai dari OPEC+ dan, yang lebih signifikan, peningkatan produksi dari negara-negara pesaing seperti Amerika Serikat.

Amerika Serikat, melalui revolusi shale oil dan investasi berkelanjutan dalam teknologi pengeboran, terus menunjukkan kapasitas produksi yang resilient. Peningkatan produksi AS ini menjadi kontributor besar terhadap potensi kelebihan pasokan global, menantang upaya OPEC+ untuk menyeimbangkan pasar.

Goldman Sachs, salah satu bank investasi terkemuka dunia, bahkan telah memangkas proyeksi harga Brent untuk tahun depan ke kisaran pertengahan US$50 per barel. Analisis mereka menekankan bahwa kelebihan pasokan akan menjadi faktor utama, meskipun permintaan global menunjukkan ketahanan. Proyeksi ini menggarisbawahi kekhawatiran serius di kalangan analis tentang prospek harga minyak dalam jangka menengah.

Dampak Ekonomi Global dan Ketahanan Permintaan

Meskipun dihadapkan pada prospek kelebihan pasokan, permintaan global, terutama dari negara-negara besar seperti China, masih menunjukkan ketahanan.

Negeri Tirai Bambu tersebut disebut tetap aktif menimbun stok minyak mentah guna mengamankan kebutuhan energi jangka panjang. Pembelian agresif dari China ini, pada gilirannya, sedikit menahan laju penurunan harga minyak agar tidak terjun lebih dalam.

Ketahanan permintaan ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mencegah keruntuhan harga yang lebih drastis, memberikan sedikit stabilitas bagi pasar. Di sisi lain, jika produksi terus meningkat melebihi kapasitas serap permintaan, bahkan permintaan yang kuat pun mungkin tidak cukup untuk mencegah kelebihan pasokan.

Bagi pebisnis dan pengusaha, terutama di sektor manufaktur dan transportasi, fluktuasi harga minyak ini berdampak langsung pada biaya operasional dan perencanaan strategis. Biaya energi yang lebih rendah dapat mengurangi inflasi dan meningkatkan daya beli konsumen, namun juga dapat memukul industri energi itu sendiri.

Penutup

Harga minyak Brent yang kembali di bawah US$70 per barel pada akhir September 2025 menjadi indikator kompleksitas pasar energi global.

Konflik kepentingan antara produsen untuk merebut pangsa pasar, ancaman kelebihan pasokan dari OPEC+ dan negara non-OPEC seperti Amerika Serikat, serta ketahanan permintaan yang moderat, semuanya berkontribusi pada volatilitas harga.

Bagi para pembisnis dan pengusaha di Indonesia dan global, memahami dinamika ini sangat krusial untuk membuat keputusan investasi dan operasional yang tepat di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk tujuan edukasi dan informasi, bukan merupakan ajakan untuk membeli atau menjual saham. Segala keputusan investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembaca.

Related Post

Tinggalkan komentar