RUU P2SK Baru: Independensi BI Aman, Pengawasan Diperketat?

Taufiq Setiawan

RUU P2SK Baru: Independensi BI Aman, Pengawasan Diperketat?
RUU P2SK Baru: Independensi BI Aman, Pengawasan Diperketat?

RINGKASAN

  • RUU P2SK terbaru melunakkan klausul pemecatan Dewan Gubernur BI oleh DPR, namun menggantinya dengan “rekomendasi mengikat” hasil evaluasi kinerja yang tetap mengundang kekhawatiran atas independensi Bank Indonesia.
  • Revisi UU P2SK dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi dan kini memperluas mandat Bank Indonesia untuk tidak hanya menjaga stabilitas rupiah, tetapi juga aktif mendukung pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.
  • Pemerintah menekankan pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter, sementara investor khawatir peningkatan peran parlemen dalam pengawasan BI dapat membuka celah intervensi politik yang berisiko bagi stabilitas ekonomi.
  • Di tengah perdebatan independensi BI, RUU P2SK yang baru juga memberikan peran lebih besar kepada kepolisian dalam investigasi kejahatan keuangan, mengubah lanskap penegakan hukum di sektor jasa keuangan Indonesia.

ℹ️ Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI

RUU P2SK Baru: Independensi BI Aman, Pengawasan Diperketat? Sebuah babak baru dalam lanskap kebijakan moneter dan fiskal Indonesia tengah ditulis. Revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang sempat memicu kekhawatiran pasar kini menunjukkan versi yang lebih “lunak”.

Klausul kontroversial yang memberi wewenang parlemen untuk merekomendasikan pemecatan Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) telah dihilangkan. Namun, apakah ini berarti independensi bank sentral sepenuhnya aman? Jawabannya tidak sesederhana itu.

Rancangan terbaru yang beredar hingga 1 Oktober 2025 ini memang menghapus pasal eksplisit tersebut, tetapi menggantinya dengan mekanisme baru tinjauan kinerja BI oleh parlemen yang rekomendasinya akan bersifat mengikat. Perubahan ini, meski terlihat lebih halus, tetap menjadi sinyal pergeseran signifikan dalam hubungan antara bank sentral, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang berpotensi memengaruhi stabilitas ekonomi dan iklim investasi di tanah air.

Apa Sebenarnya Isi Revisi RUU P2SK Baru?

Revisi UU P2SK menjadi sorotan utama karena mengubah beberapa pilar fundamental dalam arsitektur sistem keuangan Indonesia. Awalnya, revisi ini digulirkan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Januari 2025 yang menyatakan beberapa pasal dalam UU P2SK tahun 2023 inkonstitusional. Namun, pembahasannya meluas ke area yang jauh lebih krusial.

Berikut adalah tiga perubahan utama dalam draf RUU P2SK terbaru:

1. Pengawasan Parlemen yang Mengikat

Inilah inti dari tinjauan parlemen tentang bank sentral yang diperlunak. Draf sebelumnya secara gamblang menyebutkan DPR dapat merekomendasikan pemberhentian Dewan Gubernur BI. Kini, pasal itu diganti dengan mekanisme evaluasi kinerja.

Hasil evaluasi DPR ini akan menghasilkan rekomendasi yang wajib dilaksanakan oleh BI. Ini menciptakan “gigi” baru bagi pengawasan parlemen yang sebelumnya tidak ada, memicu perdebatan tentang di mana batas antara pengawasan dan intervensi.

2. Perluasan Mandat Bank Indonesia

Mandat BI secara tradisional adalah menjaga stabilitas nilai rupiah. UU P2SK 2023 menambahkan mandat untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan demi mendukung pertumbuhan ekonomi.

Draf terbaru melangkah lebih jauh, mewajibkan BI untuk “menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.” Perluasan ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif.

3. Peran Baru Aparat Penegak Hukum

RUU ini juga memberi kewenangan lebih luas kepada kepolisian untuk melakukan investigasi kejahatan keuangan. Sebelumnya, investigasi semacam ini berada di bawah koordinasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perubahan ini berpotensi mempercepat penanganan kasus-kasus di sektor finansial.

Independensi vs. Sinergi Kebijakan

Perubahan dalam RUU P2SK memicu dua narasi utama yang saling berhadapan: kekhawatiran atas terkikisnya independensi BI dan argumen pemerintah tentang perlunya sinergi kebijakan.

Bagi investor dan analis pasar, independensi bank sentral adalah harga mati. Bank sentral yang mandiri dapat membuat keputusan kebijakan moneter (seperti menaikkan atau menurunkan suku bunga) berdasarkan data ekonomi yang objektif untuk mengendalikan inflasi, tanpa tekanan politik jangka pendek. Kekhawatiran muncul bahwa “rekomendasi mengikat” dari parlemen dapat menjadi alat tekanan politik untuk memaksa BI melonggarkan kebijakan moneter demi tujuan elektoral atau target pertumbuhan sesaat, yang berisiko mengorbankan stabilitas jangka panjang.

Di sisi lain, pemerintah, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa tujuan utama revisi ini adalah menciptakan sinergi yang lebih kuat antara kebijakan fiskal (yang dipegang pemerintah) dan kebijakan moneter (yang dipegang BI). Menurut pemerintah, kebijakan fiskal tidak akan efektif jika kebijakan moneter tidak sejalan, begitu pula sebaliknya. Dengan mandat yang lebih selaras untuk mendorong pertumbuhan, diharapkan kedua institusi dapat “satu pikiran” dalam memajukan ekonomi nasional.

Dampaknya bagi Dunia Usaha dan Ekonomi

Bagi Anda para pebisnis, pengusaha, dan CEO, perubahan ini membawa implikasi ganda yang perlu dicermati.

  • Potensi Positif: Jika sinergi kebijakan berjalan ideal, koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan BI dapat menghasilkan kebijakan yang lebih pro-pertumbuhan. Fokus baru BI pada sektor riil dan penciptaan lapangan kerja bisa berarti kebijakan moneter yang lebih akomodatif bagi dunia usaha, seperti akses kredit yang lebih mudah atau suku bunga yang mendukung ekspansi.
  • Potensi Risiko: Ketidakpastian adalah musuh terbesar investasi. Jika pasar memandang “rekomendasi mengikat” ini sebagai bentuk intervensi politik, kepercayaan investor bisa menurun. Hal ini dapat memicu volatilitas nilai tukar rupiah, mempersulit perencanaan bisnis, dan meningkatkan risiko biaya impor. Stabilitas makroekonomi yang selama ini menjadi jangkar kepercayaan bisa goyah.

Penutup

Revisi UU P2SK telah melunakkan ancaman langsung terhadap posisi pimpinan Bank Indonesia, namun membuka pintu baru bagi pengaruh parlemen melalui mekanisme “rekomendasi mengikat”. Langkah ini menandai pergeseran paradigma, di mana bank sentral tidak lagi hanya dipandang sebagai penjaga stabilitas, tetapi juga sebagai motor pendukung aktif pertumbuhan ekonomi.

Meskipun klausul paling kontroversial telah diredam, perdebatan fundamental mengenai batas antara sinergi dan intervensi masih jauh dari selesai. Keberhasilan reformasi ini akan sangat bergantung pada bagaimana mekanisme pengawasan baru ini diimplementasikan dalam praktik dan sejauh mana independensi operasional BI tetap terjaga. Bagi para pelaku ekonomi, ini adalah momen krusial untuk mengamati dengan saksama arah baru kebijakan ekonomi Indonesia.

Related Post

Tinggalkan komentar