RINGKASAN
- Danantara Pimpin Proyek Sampah Jadi Energi Atasi Krisis Nasional. Menghadapi 35 juta ton sampah tahunan yang mayoritas tak terkelola, Danantara menginisiasi rapat koordinasi untuk mempercepat proyek Waste-to-Energy (WtE), memposisikan diri sebagai koordinator antara pemerintah, BUMN seperti PLN, dan swasta untuk mengubah sampah menjadi solusi energi strategis.
- Tantangan Harga Listrik WtE dan Potensi Beban Finansial PLN. Proyek sampah jadi energi menghadapi kendala biaya, di mana harga listriknya (20 sen USD/kWh) jauh lebih mahal dari batu bara. Hal ini berisiko membebani keuangan PT. PLN (Persero) yang sudah menanggung subsidi besar dan target transisi energi lainnya.
- Masa Depan Proyek Bergantung pada Skema Finansial dan Regulasi. Keberhasilan inisiatif WtE oleh Danantara sangat ditentukan oleh revisi Perpres 35/2018, terutama terkait kebijakan tipping fee. Model bisnis yang seimbang diperlukan agar proyek ini dapat mengatasi masalah sampah tanpa membebani keuangan negara dan PLN.
- Peluang Investasi Hijau dengan Skala Ekonomi Besar. Danantara akan fokus pada proyek PSEL atau PLTSa dengan skala minimal 1.000 ton sampah per hari. Ini membuka peluang investasi yang signifikan di sektor ekonomi hijau, sekaligus berkontribusi pada target Net Zero Emission 2060 Indonesia.
Proyek Sampah Jadi Energi Danantara: Masa Depan EBT RI, Indonesia berada di tengah krisis pengelolaan sampah yang mendesak. Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per September 2025 menunjukkan bahwa dari sekitar 35 juta ton sampah yang dihasilkan secara nasional setiap tahun, lebih dari 61% di antaranya tidak terkelola dengan baik.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada sudah melebihi kapasitas, sementara penambahan TPA baru bukanlah solusi jangka panjang karena keterbatasan lahan dan dampak emisi gas metana yang signifikan. Menjawab tantangan ini, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) mengadakan rapat koordinasi strategis yang mempertemukan pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan mitra swasta.
Fokus utamanya jelas mempercepat realisasi proyek Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) atau Waste-to-Energy (WtE). Langkah ini menandai era baru dalam penanganan sampah nasional, namun juga memunculkan pertanyaan fundamental mengenai kelayakan finansial dan dampaknya bagi ekosistem energi nasional.
Table Of Contents
Danantara sebagai Orkestrator Proyek Sampah
Kehadiran Danantara dalam proyek WtE bukanlah tanpa alasan. Lembaga yang dipimpin oleh para profesional seperti Rosan Roeslani (CEO) dan Pandu Sjahrir (CIO) ini diposisikan sebagai orkestrator yang akan menyatukan berbagai kepentingan. Selama ini, proyek PSEL sering kali terhambat oleh masalah klasik: kendala pembiayaan, kepastian pasokan sampah dari pemerintah daerah, dan risiko teknis.
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), fungsi koordinatif Danantara sangat krusial. Dengan menyatukan pemerintah pusat, daerah, dan swasta dalam satu meja, diharapkan proyek dapat berjalan lebih sistematis, transparan, dan berkelanjutan. Danantara akan bertindak sebagai penjamin investasi, memastikan proyek-proyek yang berjalan memiliki skala ekonomi yang memadai. Sesuai arahan dari Kementerian ESDM, Danantara akan memprioritaskan proyek PSEL skala besar dengan kebutuhan input sampah minimal 1.000 ton per hari.
Langkah ini sejalan dengan instruksi Presiden Prabowo untuk mengakselerasi penanganan sampah dari hulu hingga hilir, di mana WtE menjadi salah satu solusi hilir yang strategis untuk mencapai target transisi energi menuju Net Zero Emission 2060.
Peluang Besar di Balik Tumpukan Sampah
Proyek sampah jadi energi menawarkan dua keuntungan utama. Pertama, ia secara langsung mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA, mengubah masalah menjadi sumber daya. Kedua, proyek ini menghasilkan energi listrik yang dapat disalurkan ke jaringan nasional, memberikan kontribusi pada bauran energi baru terbarukan (EBT).
Dengan mengubah sampah menjadi listrik, Indonesia dapat menekan emisi gas metana dari TPA, yang menurut laporan IPCC menyumbang 2-3% dari total emisi nasional. Bagi para pembisnis dan investor, ini adalah peluang untuk masuk ke sektor ekonomi hijau yang didukung penuh oleh pemerintah, dengan Danantara sebagai fasilitator utama. Prospek penerapan WtE di kota-kota besar di Indonesia dianggap sangat potensial, mengingat volume sampah yang terus meningkat seiring dengan urbanisasi.
Harga Listrik dan Beban PLN
Di balik potensinya yang besar, tantangan paling signifikan dari proyek WtE terletak pada aspek finansial, khususnya dampaknya pada PT. PLN (Persero). Menurut pengamat energi dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, pemerintah dan Danantara harus sangat berhati-hati agar proyek ini tidak menjadi beban baru bagi PLN.
Masalahnya terletak pada harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Harga listrik dari PLTSa dipatok sekitar 20 sen dolar AS per kWh. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga listrik dari pembangkit batu bara yang hanya berkisar 4 hingga 6 sen per kWh. Memaksa PLN untuk membeli listrik dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahal berisiko memperberat kondisi keuangan perusahaan, yang saat ini sudah menanggung beban subsidi dan kompensasi triliunan rupiah serta target pengembangan EBT sebesar 42,6 GW dalam RUPTL 2025-2034.
Persoalan ini semakin kompleks dengan adanya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018. Salah satu poin krusial dalam revisi tersebut adalah wacana penghapusan tipping fee biaya yang dibayarkan Pemda kepada pengelola sampah. Menurut PT PLN Indonesia Power (PLN IP), jika tipping fee dihapus, maka untuk menjaga kelayakan proyek, harga jual listrik (feed-in tariff) dari PLTSa harus dinaikkan. Kenaikan ini pada akhirnya akan memperbesar beban subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung pemerintah melalui PLN.
Penutup
Inisiatif yang dipimpin Danantara untuk mengakselerasi proyek sampah menjadi energi adalah langkah maju yang sangat dibutuhkan Indonesia. Rapat koordinasi ini menjadi fondasi penting untuk membangun kolaborasi yang solid antara semua pemangku kepentingan. Proyek WtE tidak hanya menawarkan solusi inovatif untuk krisis sampah, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap transisi energi bersih.
Namun, keberhasilan jangka panjang proyek ini akan sangat bergantung pada kemampuannya menciptakan model bisnis dan finansial yang berkelanjutan. Tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan antara tujuan lingkungan dan beban ekonomi, terutama bagi PLN.
Keputusan final terkait revisi Perpres 35/2018, khususnya mengenai skema tipping fee dan penetapan harga listrik, akan menjadi penentu apakah proyek ambisius ini akan menjadi solusi efektif atau justru menimbulkan masalah baru. Jalan ke depan memerlukan perhitungan yang cermat, transparansi, dan komitmen bersama untuk memastikan energi dari sampah benar-benar menjadi berkah bagi negeri.