PHK Industri Rokok: Ancaman Rokok Ilegal & Beban Cukai. Kabar mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu pabrik PT Gudang Garam Tbk di Jawa Timur, yang riuh di media sosial belakangan ini, telah membuka kotak pandora yang mengungkap kegelisahan mendalam di jantung industri hasil tembakau (IHT) nasional.
Isu ini bukan hanya tentang nasib ratusan pekerja, melainkan sebuah sinyal bahaya bagi raksasa seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, hingga Djarum, yang kini berhadapan dengan musuh kembar gempuran rokok ilegal dan tekanan tarif cukai yang kian memberatkan.
Meski pihak manajemen perusahaan memberikan definisi yang berbeda-beda mulai dari efisiensi, berakhirnya kontrak outsourcing, hingga tidak adanya PHK massal fakta di lapangan yang dikonfirmasi oleh serikat pekerja menunjukkan adanya pengurangan tenaga kerja yang signifikan.
Fenomena ini memaksa kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar isu internal perusahaan, menuju akar masalah sistemik yang mengancam keberlangsungan industri padat karya ini. Apa sebenarnya yang terjadi dan mengapa alarm ini berbunyi begitu nyaring?
Table Of Contents
Konfirmasi dari Lapangan dan Definisi yang Berbeda
Keriuhan ini pertama kali mencuat dari media sosial, namun dengan cepat mendapat konfirmasi dari sumber yang lebih kredibel. Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, pada Senin (8/9/2025), membenarkan adanya PHK terhadap sekitar 400 pekerja di lingkungan Gudang Garam Tuban.
“Pengurus unit kerja kami yang ada di situ membenarkan ada sekitar 400 orang memang di-PHK, tapi definisinya macam-macam. Ada yang putus kontrak, ada yang sifatnya outsourcing, dan ada PHK dengan alasan efisiensi,” jelas Jumhur.
Perbedaan definisi inilah yang kerap menjadi sumber kebingungan. Dari perspektif perusahaan, berakhirnya kontrak kerja atau tidak diperpanjangnya status karyawan alih daya mungkin tidak didefinisikan sebagai “PHK” dalam pengertian formal. Namun bagi pekerja dan serikat buruh, hasilnya tetap sama: hilangnya pekerjaan dan sumber penghidupan. Fenomena ini, menurut Jumhur, paling banyak terjadi di sektor sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM), dua segmen yang paling padat karya.
BACA JKUGA: Amankan Portofolio: Tips Diversifikasi Emas Hingga Saham
Rokok Ilegal: Musuh dalam Selimut yang Menggerogoti Pasar

Saat para analis dan ekonom mencoba membedah penyebabnya, satu faktor terus muncul sebagai biang keladi utama: maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok tanpa pita cukai ini menjadi pukulan telak bagi industri yang patuh pada regulasi.
Seorang ekonom menyoroti bahwa struktur harga rokok legal di Indonesia didominasi oleh instrumen fiskal, terutama cukai. “Bayangkan saja, sekitar 78% dari harga sebungkus rokok yang Anda beli itu masuk ke kas negara sebagai cukai dan pajak. Ini membuat harga rokok legal menjadi sangat mahal bagi sebagian kalangan,” terangnya.
Kondisi ini menciptakan ceruk pasar yang sangat besar bagi produsen rokok ilegal. Dengan menjual produk tanpa cukai, mereka dapat menawarkan harga yang jauh lebih murah, seringkali kurang dari separuh harga rokok legal termurah sekalipun. Akibatnya, volume penjualan produsen rokok legal terus tergerus. Ketika volume produksi menurun karena pasarnya direbut oleh produk ilegal, langkah efisiensi termasuk pengurangan tenaga kerja menjadi pilihan yang sulit dihindari bagi perusahaan.
“Rokok ilegal ini memukul industri yang resmi. Ini adalah laporan utama yang kami terima. Pemerintah seolah kurang serius memeranginya, padahal kerugiannya ganda: industri resmi tertekan, dan penerimaan negara dari cukai juga hilang,” tegas Jumhur Hidayat, menyuarakan keprihatinan para pekerja.
BACA JUGA: Pilar Ekonomi Era Digital UKM: Usaha Kecil dan Menengah
Dilema Kenaikan Cukai dan Penurunan Daya Beli
Selain rokok ilegal, kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) secara agresif dalam beberapa tahun terakhir turut memperburuk situasi. Tujuan pengendalian konsumsi tembakau memang mulia, namun di sisi lain, kebijakan ini memberikan tekanan berat pada keberlangsungan industri.
Kenaikan cukai yang signifikan secara otomatis menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok legal. Di saat yang bersamaan, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi dan di tengah tekanan inflasi. Kombinasi harga yang makin mahal dan kantong yang makin tipis mendorong konsumen untuk mencari alternatif yang lebih murah, dan rokok ilegal menjadi jawaban yang paling mudah diakses.
Ini adalah lingkaran setan: kenaikan cukai membuat rokok legal mahal, konsumen beralih ke rokok ilegal, volume penjualan industri legal turun, dan akhirnya perusahaan terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja. Industri yang pada 2024 masih menjadi rumah bagi puluhan ribu pekerja seperti Gudang Garam yang tercatat memiliki 30.308 karyawan kini berada dalam posisi sulit.
BACA JUGA: BEI Tembus Rp16,37 T: BBCA & ANTM Paling Diburu Investor
Penutup
Isu PHK yang melanda industri tembakau adalah gejala dari penyakit yang lebih kronis. Ini bukan sekadar masalah antara perusahaan dan pekerjanya, melainkan isu ekosistem yang melibatkan kebijakan fiskal pemerintah, penegakan hukum, dan kondisi ekonomi masyarakat. Kegelisahan yang dirasakan oleh Gudang Garam, Sampoerna, Djarum, dan pabrikan lainnya adalah cerminan dari pertaruhan besar yang dihadapi Indonesia.
Di satu sisi, negara membutuhkan penerimaan yang besar dari cukai rokok. Di sisi lain, industri padat karya ini menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan menjadi tumpuan ekonomi di banyak daerah. Jika gempuran rokok ilegal tidak ditangani secara serius dan kebijakan cukai tidak dirumuskan dengan mempertimbangkan daya saing industri legal, maka “efisiensi” tenaga kerja bisa jadi akan terus berlanjut.
Ini adalah panggilan mendesak bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas, melindungi industri legal, mengamankan penerimaan negara, dan yang terpenting, menjaga nasib jutaan orang yang hidupnya bergantung pada denyut nadi industri kretek nasional.